Gagalnya Kebijakan Publik Kesehatan Cimahi Setelah Viralnya Kasus Di RSUD Cibabat
Dalam perspektif kebijakan publik, peristiwa ini harus dibaca bukan sebagai insiden semata, melainkan sebagai manifestasi dari disfungsi sistemik, sebuah kegagalan struktural yang telah lama membusuk dalam diam.
Menurut World Health Organization (WHO), sistem kesehatan publik yang tidak mampu merespons krisis secara adil menunjukkan lemahnya kapasitas negara dalam menjamin hak dasar warganya. Tragedi Ulfa adalah gejala dari sistem yang gagal mendahulukan nyawa dibanding prosedur, kepastian hukum dibanding empati.
Dilihat dari jejak malapraktik kebijakan - Ulfa bukan satu-satunya korban dampak dari kekurang sigapan pelayanan RSUD Cibabat, banyak masyarakat yang memiliki pengalaman buruk yang dikeluhkan, termasuk kekurangramahan pihak rumah sakit.
Berbagai kasus ini, menyingkap kegagalan sistemik yang lebih dalam, birokrasi medis yang lambat, ketergantungan pada sistem digital tanpa protokol darurat, serta absennya tanggap cepat pada pasien, salah satunya adalah kepada para peserta BPJS.
Ketua DPRD Cimahi, Wahyu Widyatmoko, bahkan mengakui bahwa "isu-isu miring" soal layanan RSUD Cibabat telah terjadi berulang kali.
Dalam laporan masyarakat, tercatat beberapa kasus menganggap buruknya pelayanan RSUD Cibabat. Struktur organisasi yang sentralistik memperlambat pengambilan keputusan kritis, terutama ketika jumlah dokter spesialis sangat terbatas.
Direktur RSUD, Sukwanto Gamalyono, mengungkapkan bahwa anggaran obat-obatan hanya Rp40 miliar, jauh dari mencukupi. Ini ironi, mengingat total klaim BPJS di Kota Cimahi pada 2024 mencapai ratusan milyar, kemungkinan bisa mencapai hampir Rp1 triliun seperti yang diungkapkan oleh Ngatiyana.
Sistem digital BPJS yang sering bermasalah juga menjadi keluhan yang kami (LSM KOMPAS) sering terima, termasuk saat situasi darurat, memperkuat dugaan bahwa keselamatan pasien seringkali kalah oleh kendala administratif.
Pernyataan ini bukan semata-mata luapan emosi, tetapi refleksi dari pengalaman kolektif masyarakat menengah bawah yang bergantung pada JKN. Komentar publik di media sosial dengan video viral, menguatkan bahwa persepsi diskriminasi terhadap pasien BPJS telah meluas.
Diskriminasi pelayanan ini bertentangan dengan Pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menjamin pelayanan tanpa membedakan status sosial. Juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Laporan Ombudsman RI dan kanal pengaduan publik Lapor.go.id bahkan secara konsisten menempatkan sektor kesehatan sebagai salah satu layanan publik dengan tingkat laporan tertinggi.
Jika dibiarkan, diskriminasi ini akan berdampak sistemi, menurunnya partisipasi dalam program JKN, meningkatnya beban rumah sakit swasta, dan hilangnya legitimasi rumah sakit milik pemerintah sebagai benteng layanan dasar.
Efek jangka panjang dari krisis ini mencakup menurunnya partisipasi dalam program JKN, meningkatnya beban rumah sakit swasta, dan merosotnya legitimasi rumah sakit pemerintah sebagai pelayan utama publik.
Tata kelola lemah, ketika reaksi menggantikan pencegahan maka dari itu Wali Kota Cimahi, Ngatiyana, baru bertindak setelah kasus ini viral, melakukan inspeksi mendadak pada 2 Juli 2025 dan mengancam perombakan manajemen RSUD.
Sayangnya, langkah ini terasa reaktif, bukan preventif. Begitu pula DPRD yang baru akan memanggil direksi rumah sakit setelah tekanan publik meningkat. Ini mencerminkan lemahnya fungsi pengawasan dan absennya sistem akuntabilitas yang berkelanjutan.
Standar WHO dan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) menuntut adanya alert mechanism dan audit mutu berkelanjutan. Ketidakhadiran sistem ini menunjukkan bahwa manajemen RSUD Cibabat dan Pemkot Cimahi lebih sibuk memadamkan api daripada mencegah kebakaran.
Kami bersemangat untuk melakukan pengkajian atas anggaran pelayanan kesehatan, setidaknya daei tahun 2023 hingga 2025.
Kajian dilakukan untuk mengetahui tingkat prioritas kebijakan daerah terhadap layanan dasar. Ketika semisal prioritas anggaran lebih condong ke infrastruktur fisik daripada kesehatan publik, maka tak heran jika rumah sakit publik menjadi medan krisis.
Pihak Fajar Budhi Wibowo akan melayangkan surat resmi kepada ombudsman RI, termasuk menggali potensi dibawanya kasus ini ke ranah hukum, dan mendesak dibentuknya Tim Pemantau Independen yang bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
Lebih dari itu, Pemkot Cimahi perlu menjalankan reformasi struktural yang nyata. Audit menyeluruh terhadap seluruh kematian pasien BPJS sejak 2020 harus dilakukan dan dipublikasikan.
Protokol layanan darurat harus diperbarui, memastikan bahwa pelayanan tetap berjalan meski sistem BPJS sedang offline. Pengembangan aplikasi pengaduan publik berbasis AI, pelibatan masyarakat sebagai mitra pemantau, serta pelatihan empati bagi tenaga medis, harus menjadi prioritas.
Menjaga martabat pelayanan publik atas tragedi Ulfa seharusnya tidak boleh berlalu sebagai statistik atau pelajaran belaka. Mereka adalah representasi dari rakyat yang dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka. Negara tidak boleh abai.
Jika prosedur lebih penting dari nyawa, maka kita telah kehilangan arah dalam bernegara.
Pelayanan kesehatan adalah urusan moral, bukan sekadar administratif. Maka, perbaikannya pun harus menyentuh akar nilai, keadilan, empati, dan tanggung jawab.
RSUD Cibabat bisa menjadi titik balik, atau tetap menjadi simbol kegagalan. Pilihan ada di tangan pemerintah dan publik.
Satu hal yang pasti, nyawa rakyat terlalu mahal untuk dikorbankan pada sistem yang lamban dan diskriminatif.
Sumber : Fajar Budhi Wibowo - Koordinator Umum LSM KOMPAS & Koordinat Masyarakat Pejuang Aspirasi
(Dany/Agus Nyno)
Posting Komentar